Translate

Sabtu, 28 Februari 2015

Pesan Paus untuk masa pra Paskah 2015

Sebuah hati berbelaskasih tidak berarti sebuah hati yang lemah? 

Teguhkanlah hatimu ? (Yak 5:8)





Saudara-saudari terkasih,
Puasa adalah suatu waktu pembaruan bagi seluruh Gereja, setiap persekutuan dan setiap pribadi. Utamanya, Puasa adalah suatu “waktu rahmat” (2Kor 6:2). Allah tidak meminta dari kita sesuatu yang Dia sendiri tidak anugerahkan kepada kita. “Kita mengasihi sebab Dia telah lebih dahulu mengasihi kita” (1Yoh 4:19). Dia tidak menyepelekan kita. Masing-masing kita mempunyai tempat dalam hati-Nya. Dia mengenal kita dengan nama, Dia memperhatikan kita dan mencari kita kapan pun kita berbalik daripada-Nya. Dia peduli akan kita masing-masing; kasih-Nya tidak memperbolehkan-Nya untuk tidak peduli akan apa yang menimpa diri kita. Biasanya,  bila kita sehat dan rasa nyaman, kita melupakan orang lain (sesuatu yang Bapak Allah tidak pernah lakukan): kita tidak peduli dengan persoalan-persoalan mereka, penderitaan dan ketidak-adilan yang menyandera mereka … Hati kita menjadi beku. Sejauh saya secara relatif sehat dan nyaman, saya tidak berpikir tentang mereka yang kurang sehat. Sekarang ini, sikap cinta diri ini akan ketidak pedulian telah terjadi dalam keseimbangan global, sejauh bahwa kita dapat berbicara tentang globalisasi akan ketidak-pedulian. Itulah suatu persoalan, yang kita, umat Kristiani, harus menghadapi.
Bila umat Allah berbalik kepada kasih-nya, mereka mendapatkan jawaban terhadap masalah-masalah yang sejarah terus menerus mempersoalkan. Salah satu tantangan yang mendesak yang ingin saya tenggarai dalam Pesan ini adalah justeru globalisasi dari ketidak-pedulian.
Ketidak-pedulian akan sesama kita dan Allah juga menghadirkan suatu pencobaan nyata bagi kita umat Kristiani. Setiap tahun selama Puasa, kita perlu mendengarkan sekali lagi suara para nabi yang berseru dan menggugah hati nurani kita.
Allah tidak bersikap acuh tak acuh terhadap dunia kita; Dia demikian mengasihinya sehingga Dia menyerahkan Putera-Nya demi keselamatan kita. Dalam penjelmaan, di awal hidup-Nya, kematian dan kebangkitan Putera Allah, pintu antara Allah dan manusia, antara surga dan bumi, terbuka bagi semua orang. Gereja adalah seperti tangan yang memegang pintu ini terbuka, syukur kepada pewartaan firman Allah, perayaan sakramen-sakramen dan kesakisiannya akan iman yang bekerja melalui cintakasih(cf. Gal 5:6)). Tetapi firman cenderung menarik ke dalam diri sendiri dan menutup pintu itu melalui mana Allah datang ke dunia dan dunia datang kepada-Nya. Oleh karena itu, tangan yang adalah Gereja, tidak pernah boleh heran, jika ditolak, ditikam dan dilukai.
Umat Allah  perlu pembaruan batiniah, supaya kita jangan menjadi tidak peduli dan terkunci dalam diri sendiri. Guna memajukan pembaruan ini, saya ingin menyarankan tiga teks biblis bagi perenungan kita.
  1. “Jika seorang anggota menderita, maka semua anggota turut menderita” (1Kor 12:26) – Gereja
Cintakasih Allah menghancurkan ketertutupan dalam diri sendiri, ialah ketidak-pedulian. Gereja mewartakan cintakasih Allah ini melalui pengajarannya dan terutama kesaksiannya. Tetapi kita hanya dapat memberikan kesaksian terhadap apa yang kita sendiri alami. Umat kristiani adalah mereka yang menyilakan Allah menyelimuti mereka dengan kebaikan dan belaskasihan, dengan Kristus, sehingga menjadi seperti Kristus, hamba-hamba Allah dan orang lain. Hal ini menjadi jelas dalam liturgi Kamis Putih, dengan upacara pembasuhan kaki. Petrus tidak mau kakinya dibasuh oleh Yesus, tetapi dia menjadi sadar bahwa Yesus tidak hanya ingin menjadi contoh bagaimana kita harus membasuh kaki satu sama lain. Hanya mereka yang pertama-tama menyilakan Yesus membasuh kaki mereka sendiri kemudian dapat memberikan pelayanan ini kepada orang lain. Hanya mereka yang menjadi  “suatu bagian” bersama Dia (Yoh 13:8) dapat melayani orang lain.
Puasa adalah suatu masa perkenan untuk menyilakan Kristus melayani kita sehingga pada gilirannya kita boleh menjadi semakin seperti Dia. Hal ini terjadi bilamana saja kita mendengarkan firman Allah dan menerima sakramen-sakramen, terutama Ekaristi. Kita menjadi apa yang kita terima: Tubuh Kristus. Dalam tubuh ini tiada ruang bagi ketidak-pedulian yang demikian sering nampaknya menguasai hati kita. Karena siapa saja milik Kristus, termasuk dalam satu tubuh, dan di dalam-Nya kita tidak dapat bersikap tidak peduli satu sama lain. “Jika satu anggota menderita, semua anggota turut menderita; jika satu anggota dihormati, semua anggota turut bersukacita”(1Kor 12: 26).
Gereja adalah persekutuan orang-orang kudus bukan saja karena orang-orang kudusnya, tetapi juga karena Gereja adalah persekutuan dalam hal-hal yang kudus: cintakasih Allah dinyatakan kepada kita dalam Kristus dan semua anugerah-Nya. Di antara anugerah-anugerah ini terdapat juga jawaban dari mereka yang memberikan dirinya dijamah oleh cintakasih-Nya. Di dalam persekutuan orang-orang kudus ini dan berbagi hal-hal yang kudus ini, tiada seorang pun memilikinya sendiri, tetapi berbagi segalanya dengan orang lain. Dan karena kita disatukan dalam Allah, kita dapat melakukan sesuatu bagi mereka yang berada sangat jauh, mereka yang tidak  pernah kita jumpai sendiri, karena dengan mereka dan bagi mereka, kita memohon kepada Allah agar kita semua boleh terbuka kepada rencana keselamatan-Nya.
  1. “Di mana saudaramu?” (Kej 4:9) – Paroki-paroki dan Persekutuan-persekutuan setempat
Semua yang sudah kita utarakan tentang Gereja Universal sekarang harus diterapkan pada hidup paroki-paroki dan persekutuan-persekutuan setempat kita. Apakah struktur-struktur gerejawi ini memampukan kita untuk mengalami menjadi bagian dari satu tubuh? Suatu tubuh yang menerima dan berbagi apa yang Allah ingin anugerahkan? Suatu tubuh yang mengakui dan memperhatikan bagi anggota-anggotanya yang paling lemah, paling miskin dan paling tidak berarti? Atau apakah kita berlindung dalam suatu cintakasih universal yang merangkul seluruh dunia, sedangkan gagal melihat Lazarus yang duduk di depan pintu-pintu kita yang tertutup? (Lk 16:19-31).
Guna menerima apa yang Allah anugerahkan kepada kita dan membuatnya berbuah limpah, kita perlu bergerak di luar tapal batas Gereja yang kelihatan dalam dua cara.
Pada tempat pertama, dengan menyatukan diri kita dalam doa bersama Gereja di surga. Doa dari Gereja di bumi membangun suatu persekutuan pelayanan dan kebaikan timbal balik yang sampai di hadapan hadirat Allah. Bersama dengan para kudus yang telah menjumpai kepenuhannya di dalam Allah, kita menjadi bagian dari persekutuan itu di mana ketidak-pedulian dikalahkan oleh cintakasih. Gereja di surga tidak menang karena dia terlepas dari penderitaan-penderitaan dunia dan bergembira dalam keterasingan yang indah. Sebaliknya, para kudus dengan girang merenungkan apa yang, melalui kematian dan kebangkitan Kristus, mereka pernah kalahkan dan terutama atas ketidak-pedulian, ketegaran hati dan kebencian. Supaya kemenangan cintakasih ini meresapi seluruh dunia, para kudus terus menerus menemani kita dalam jalan peziarahan kita. St. Theresia dari Lisieux, seorang Pujangga Gereja, mengungkapkan keyakinannya bahwa kegirangan dalam surga atas kemenangan cintakasih tersalib sama sekali tidak sempurna, sejauh masih ada seorang laki-laki atau perempuan di atas bumi yang menderita dan mengerang kesakitan: “Saya percaya sepenuhnya bahwa saya tidak akan berdiam diri di surga; kerinduan-ku adalah melanjutkan berkarya bagi Gereja dan jiwa-jiwa” (Surat 254, 14 Juli 1897).
Pada tempat kedua, setiap persekutuan kristiani dipanggil keluar dari dirinya sendiri dan terlibat dalam hidup masyarakat yang lebih luas di mana persekutuan itu menjadi sebuah bagian, terutama dengan kaum miskin dan mereka yang jauh. Gereja bercorak misioner dari kodratnya; dia tidak tertutup dalam dirinya tetapi diutus kepada setiap bangsa dan kaum.
Perutusannya adalah membawa kesaksian yang tekun akan Seseorang yang ingin menarik seluruh ciptaan dan setiap laki-laki dan perempuan kepada Bapa. Perutusannya adalah membawa kepada semua orang suatu cintakasih yang tidak dapat didiamkan. Gereja mengikuti Yesus Kristus sepanjang jalan yang menuju kepada setiap laki-laki dan perempuan, sampai ke ujung-ujung bumi (Kis 1:8). Dalam masing-masing sesama kita, kita harus melihat seorang saudara atau saudari bagi siapa Yesus wafat dan bangkit. Apa yang kita sendiri telah terima, kita telah menerimanya juga bagi mereka.  Atas cara yang sama, semua yang saudara-saudara dan saudari-saudari miliki adalah suatu anugerah bagi Gereja dan seluruh umat manusia.
Saudara-saudari terkasih, betapa saya merindukan dengan sangat bahwa semua tempat di mana Gereja hadir, terutama paroki-paroki dan persekutuan-persekutuan setempat kita, boleh menjadi pulau-pulau belaskasih di tengah samudera ketidak-pedulian.
  1. “Teguhkanlah hatimu” (Yak 5:8) – Orang-orang Kristiani pribadi
Juga sebagai pribadi-pribadi, kita berada dalam pencobaan ketidak-pedulian. Dibanjiri dengan laporan-laporan berita dan gambar-gambar yang menggugah atas penderitaan manusiawi, kita sering merasakan sama sekali tidak mampu untuk membantu. Apa yang dapat kita lakukan untuk terhindar tertangkap dalam lingkaran kesedihan dan ketidak-mampuan ini?
Pertama, kita dapat berdoa dalam persekutuan dengan Gereja di bumi dan di surga. Marilah kita tidak meremehkan kemampuan dari demikian banyak suara dalam doa! Prakarsa 24 Jam untuk Tuhan, yang saya harap akan dirayakan pada 13-14 Maret di  seluruh Gereja, juga pada tingkat diosesan, dimaksudkan untuk mengungkapkan perlunya berdoa.
Kedua, kita dapat membantu dengan perbuatan kasih, baik kepada mereka yang dekat maupun yang jauh melalui banyak organisasi karitatif Gereja. Puasa adalah suatu waktu perkenan untuk menunjukkan kepedulian ini kepada orang lain melalui tanda-tanda yang kecil namun nyata dari keterlibatan kita pada satu keluarga manusiawi.
Ketiga, penderitaan orang lain adalah suatu panggilan kepada pertobatan, karena kebutuhan mereka mengingatkan saya akan ketidak-pastian dari hidup saya sendiri dan ketergantungan saya pada Allah dan saudara-saudara serta saudari-saudari-ku. Jika kita dengan rendah hati mohon rahmat Allah dan menerima keterbatasan-keterbatasan kita, kita akan percaya pada kemungkinan-kemungkinan yang tak terbatas yang cintakasih Allah curahkan bagi kita. Kita juga akan mampu menolak pencobaan setan untuk berpikir bahwa dengan kemampuan diri sendiri kita dapat menyelamatkan dunia dan diri kita sendiri.
Sebagai suatu cara mengatasi ketidak-pedulian dan pengandaian-pengandaian kita akan kecukupan diri, saya mengajak setiap orang untuk menghayati Puasa ini sebagai suatu kesempatan untuk melibatkan diri dalam apa yang Benediktus XVI sebut sebagai suatu pembentukan hati (cf. Deus caritas est, 31). Sebuah hati berbelaskasih tidak berarti sebuah hati yang lemah. Siapa saja yang ingin menjadi berbelaskasih harus mempunyai sebuah hati yang kuat dan teguh, tertutup bagi penggoda tetapi terbuka kepada Allah. Sebuah hati yang membiarkan dirinya diresapi oleh Roh guna membawa cintakasih sepanjang jalan yang mengarah kepada saudara-saudara dan saudari-saudari kita. Dan pada akhirnya, sebuah hati yang miskin, yang menyadari kemiskinannya sendiri dan memberikannya dengan bebas kepada orang lain.
Selama Puasa ini, selanjutnya, saudara-saudari, marilah kita memohon kepada Tuhan: “Fac cor nostrum secundum cor tuum”: Buatlah hati kami seperti hati-Mu (Litani Hati Kudus Yesus). Dengan cara ini kita akan menerima sebuah hati yang teguh dan berbelaskasih, peka dan murah hati, sebuah hati yang tidak tertutup, acuh tak acuh atau mangsa dari globalisasi ketidak-pedulian.
Doa-ku berharap bahwa Puasa ini akan terbukti berbuah hasil rohani bagi setiap orang beriman dan setiap persekutuan gerejawi. Saya mohon semua mendoakan saya. Mudah-mudahan Tuhan memberkati kalian dan Ibunda kita melindungi kalian.
Dari Vatikan, 4 Oktober 2014, (Dikeluarkan di Vatikan, 27 Januari 2015),
Pesta St. Fransiskus dari Assisi 
                                                        SRI  PAUS  FRANSISKUS


















 

Kamis, 26 Februari 2015

Wajah Yesus .



Wajah Yesus yang Kudus,
 aku akan menkontemplaiskanNya: 
dalam Dia mataku tertuju penuh cinta;
 kepadaNya semua penyilihanku.    (Notes 10, p. 2)
Bagi Beata Maria Pia Mastena, Wajah Yesus menjadi dasar..
Ia terus menerus berusaha untuk memulihkan, menyilihNya.
Tiada satu detik pun yang disia-siakan.
Waktu adalah anugerah sehingga perlu diisi dengan doa, korban,amal bakti,

Sabtu, 14 Februari 2015

Suster Wajah Kudus bermisi


 maris bersama tentara Bolivia


Suster Maria.., demikian perempuan kelahiran Wolokoli, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur (NTT) ini biasa disapa oleh orang-orang yang mengenalnya. Anak dari Paulus Poa dan Ibu Victoria Lamen ini memilih hidup membiara menjadi suster (Sr) dan kini telah bertugas di berbagai negara, seperti Roma, Italia dan Bolivia, Amerika Latin dalam CONGREGAZIONE DEL SANTO VOLTO (CSV). Saat berkomunikasi dengan Floresnews.com, perempuan pemberani bernama lengkap Sr. Maria Fifi Sumanti, CSV, mengungkapkan kegembiraan iman yang telah mengantarnya menjadi seorang pekerja penabur benih cinta kasih di dunia ini.
Berikut kisah dan refleksi imannya yang dikirim ke redaksi media ini dari Kota Bolivia: 
 

     Menjawab panggilan Tuhan adalah sebuah pengalaman hidup yang mendalam, kerena melibatkan Iman, kemauan dan keberanian. Dalam menjawab panggilan Tuhan pun teryata tidak sekali jadi, tetapi melalui sebuah proses yang terus menerus, bahkan seumur hidup.
Mengapa saya memilih “”berpetualang dalam cinta” sebagai topik untuk mensharingkan tentang pengalaman hidup dan panggilan saya? Bagi saya, setiap saat dan setiap waktu dalam hidup saya adalah sebuah petualangan cinta. Saya lahir, ada dan hidup, bukan kerena kebetulan tetapi kerena “Cinta” dan keputusan untuk menjadi suster pun adalah karena “Cinta”. Bagi saya cinta adalah sebuah petualangan hidup. Apapun yang terjadi dalam setiap hidup dan kehidupan saya, saya percaya dan yakin bahwa itu semua karena “Cinta”. Segala tantangan dan cobaan yang ada, dan yang akan datang saya percaya, kalau Tuhan punya rencana di balik semuanya itu.
Menjadi religius atau menjadi seorang biarawati, bukanlah cita – cita saya sawaktu kecil, namun berdasarkan pengalaman, muncul kesadaran dan pemahaman bahwa setiap orang dalam hidupnya dihadapkan pada sebuah pilihan yaitu; pilihan untuk menghayati hidup sesuai dengan keyakinan sebagai sebuah jawaban atas panggilan Tuhan.
Sebenarnya perkenalanku dengan kaum religius, sudah sejak masa kanak – kanak. Di keluargaku ada 1 orang pastor Projo dan 2 orang suster OSF. Namun demikian, saya tidak merasa tersentuh untuk menjadi seorang suster. Memang, ada sesuatu yang menarik dalam figur kepribadian mereka yang membekas di hati saya, yaitu perasaan kagum dan senang ketika saya melihat dan bertemu mereka, namun itu hanya sebatas sebuah perasaan senang dan kagum, tidak membangkitkan sebuah keinginan dari dalam hati saya untuk menjadi seorang biarawati.
Waktu SMA, ada beberapa biara yang datang untuk memperkenalkan konggregasi dan sekalian untuk promosi panggilan, tetapi bagi saya tidak ada sesuatu yang begitu istimewa, dan hati saya tidak tergerak untuk hidup membiara. Memang dalam perjalanan waktu, saat hidup menuntut saya untuk memilih, saya mencoba dan berusaha untuk bertanya pada diri saya sendiri; Mengapa saya hidup? Kemana saya pergi dan apa sebenarnya yang saya inginkan dalam hidup ini? Pertanyaan – pertanyaan ini selalu berputar kembali dalam pikiran saya dan menghantar saya pada sebuah pilihan hidup.
Lalu, mengapa saya memilih untuk menjadi suster? Tentu bukan untuk sebuah “karir”, di zaman sekarang menjadi seorang wanita “karir” tentu bukan dengan memutuskan untuk menjadi biarawati. Untuk mendapatkan pujian dari orang lain? Kita semua telah mengetahui, apa yang orang – orang pikirkan tentang kaum religius; Juga tentu bukan untuk memiliki para penggemar di sekeliling yang mencintai dan mengagung – agungkan.
Untuk bisa menolong dan menjadi orang yang berguna untuk orang lain? Semoga dan mudah mudahan. Ketika kita mengetahui bahwa sering kali, orang – orang yang berelasi dengan kita atau orang – orang yang datang untuk megunjungi dan bertemu dengan kita kaum religius hanya untuk “menginginkan sesuatu” dari kita, sebuah bantuan atau pertolongan yang hanya bersifat sementara, mungkin juga meminta tanpa sebuah kejujuran.
Saya memilih dan memutuskan untuk “Hidup Bakti”, hidup hanya untuk Tuhan seperti halnya Santo Agostino d’Ippona. Santo Agustinus, sebelum bertobat dan kemudian menjadi imam dan uskup di Ippona, beliau mengalami segala macam pengalaman yang baik dan tidak baik, yang menyenangkan dan yang tidak menyenangkan, yang pada akhirnya Agustinus sendiri berhenti. Pertanyaan mengapa día berhenti, kita temukan dalam kata – katanya yang dalam bahasa latin; “et inquietum est cor nostrum donec requiescat in te.”(dan hati kami gelisah sebelum beristirahat di dalam dikau). Adalah sebuah kepasrahan dari setiap manusia untuk mencapai kedamain dalam hatinya.
Saya melihat, mengenali dan menerima diriku sendiri apa adanya, dan saya merasakan sentuhan kasih Allah dalam hidup saya. Dan sentuhan kasih Allah inilah yang mendorong saya untuk menyerahkan seluruh diri dan hidup saya untuk “Menyebarkan, Menyilih dan Memulihkan Wajah Yesus di dalam Alam Jiwa – Jiwa,” dalam tarekat Konggregasi Wajah Kudus. (bersambung) (BKR/sf/fn)

Selasa, 10 Februari 2015

HARI ORANG SAKIT SEDUNIA 2015

Pesan Bapa Suci, Paus Fransiskus untuk Hari Orang Sakit Sedunia yang ke - 23 tahun 2015

Pesan Bapa Suci, Paus Fransiskus untuk Hari Orang Sakit Sedunia yang ke - 23 tahun 2015
Rabu, 11 Februari 2015
Kebijaksanaan Hati “Aku menjadi mata bagi orang buta, dan kaki bagi orang lumpuh” (Ayub 29:15)

Saudara-saudara terkasih,
Pada Hari Orang Sakit Sedunia yang ke-23 ini, yang telah dimulai oleh St. Yohanes Paulus II, saya kembali kepada Anda semua yang menderita sakit dan yang dalam berbagai cara disatukan dengan penderitan tubuh Kristus, dan juga kepada Anda, para ahli dan relawan di bidang perawatan kesehatan.
Tema tahun ini mengundang kita untuk merenungkan satu ungkapan dari Kitab Ayub; “Aku menjadi mata bagi orang buta, dan kaki bagi orang lumpuh” (Ayb 29:15). Saya ingin mengulas ungkapan ini dari sudut pandang “sapientia cordis”-kebijaksanaan hati.
  1. Kebijaksanaan bukanlah sesuatu yang teoritis, pengetahuan abstrak, atau hasil penalaran logis. Lebih dari itu, dalam suratnya St. Yakobus melukiskan kebijaksanaan sebagai “hikmat yang murni, selanjutnya pendamai, peramah lemah-lembut, penurut, penuh kasih, penuh belas-kasihan dan buah-buah baik, tidak ragu dan tidak munafik” (Yak 3:17). Inilah cara pandang yang dijiwai Roh Kudus di dalam pikiran dan perasaan mereka yang peka terhadap penderitaan saudari-saudarnya dan yang dapat memandang di dalam diri mereka gambar Allah. Untuk itu, marilah kita daraskan doa Pemazmur: “ Ajarlah kami menghitung hari-hari kami sedemikian, hingga kami beroleh hati yang bijaksana” (Mzm 90:12). “Kebijaksanaan hati” yang merupakan karunia Allah ini adalah rangkuman dari buah-buah hari Orang Sakit Sedunia.
  1. Kebijaksanaan hati berarti melayani saudari dan saudara kita. Kata-kata Ayub: “Aku menjadi mata bagi orang buta , dan kaki bagi orang lumpuh,” menunjukkan pelayanan orang saleh ini, yang menikmati kekuasaan tertentu dan memiliki posisi penting di antara orang-orang tua di kotanya, memberikan bantuan bagi mereka yang membutuhkan. Keagungan moralnya menemukan ungkapan tepat dalam pertolongan yang ia berikan kepada penderita yang berteriak minta tolong serta dalam kepeduliannya kepada anak yatim piatu dan janda-janda (Ayb 29:12-13)

 

Dewasa ini betapa banyak orang Kristiani yang menunjukkan, bukan dengan kata-kata tetapi dengan hidup yang berakar dalam iman sejati, bahwa mereka adalah “mata bagi orang buta, dan “kaki bagi orang lumpuh!” Mereka dekat dengan orang-orang sakit yang memerlukan perhatian dan bantuan terus menerus untuk membersihkan diri, memakaikan  pakaian dan menyuapkan makanan. Pelayanan seperti ini, khususnya bila berlarut-larut, bisa menjadi sesuatu yang melelahkan dan membebani. Relatif lebih mudah membantu orang selama beberapa hari saja, tetapi sulit merawat orang selama berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun., apalagi dalam beberapa kasus khusus, bila tidak ada ungkapan terima kasih. Namun, sebenarnya betapa agung jalan pengudusan ini.! Dalam saat-saat yang sulit itu secara khusus kita dapat mengandalkan kedekatan Tuhan, dan kita menjadi sarana istimewa bagi perutusan Gereja.
  1. Kebijaksanaan hati berarti berada bersama dengan saudari-saudara kita. Waktu yang dilalui bersama dengan orang sakit adalah waktu yang suci. Ini adalah cara memuji Tuhan yang menyelaraskan kita dengan gambar Putera-Nya yang “datang bukan untuk dilayani melainkan untuk melayani, dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang” (Mat 20:28). Yesus sendiri mengatakan: “Aku ada di tengah-tengah kamu sebagai pelayan” (Luk 22:27).
Dengan iman yang hidup, marilah kita mohon kepada Roh Kudus supaya berkenan melimpahkan rahmat-Nya kepada kita untuk  memahami kesiapsediaan diri yang seringkali tidak terkatakan untuk meluangkan waktu bersama saudari-saudara yang, dengan rasa terima kasih atas kedekatan dan kasih sayang kita, merasa lebih dicintai dan dikuatkan. Di sisi lain, tersembunyi suatu kebohongan besar di balik ungkapan tertentu yang menekankan pentingnya “kualitas hidup”, sehingga membuat orang-orang berpikir bahwa hidup yang dijangkit penyakit berat bukanlah hidup yang berharga!
  1. Kebijaksanaan hati berarti keluar dari diri sendiri menuju saudari-saudara kita. Adakalanya kita mengabaikan nilai istimewa dari waktu yang dilewatkan bersama dengan orang yang sakit di pembaringannya karena kita begitu terburu-buru; terjebak dalam kesibukan untuk melakukan sesuatu, untuk menghasilkan sesuatu, sehingga kita abai untuk memberikan diri sendiri secara bebas, untuk peduli kepada orang lain, dan bertanggung jawab terhadap orang lain. Di balik sikap seperti itu seringkali iman yang suam-suam kuku melupakan Firman Tuhan: “kamu telah melakukannya untuk aku” (Mat 25:40).
Oleh karena itu, saya akan menekankan kembali “prioritas mutlak “ keluar dari diri sendiri untuk masuk ke dalam kehidupan saudari-saudara kita’ sebagai satu dari dua perintah utama yang mendasari setiap norma moral dan sebagai tanda paling jelas untuk menilai pertumbuhan rohani dalam menanggapi anugerah yang diberikan Allah dengan cuma-cuma” (Evangelii Gaudium, 170). Sifat missioner Gereja menjadi sumber dari amal kasih yang berdaya guna dan bela-rasa yang memahami, membantu dan memajukan (ibid).
  1. Kebijaksanaan berarti menunjukkan solidaritas dengan saudari-saudara kita tanpa menghakimi mereka. Beramal kasih membutuhkan waktu. Waktu untuk merawat orang-orang sakit dan mengunjungi mereka. Waktu untuk berada di samping mereka seperti teman-teman Ayub : “Lalu mereka duduk bersama-sama dia di tanah selama tujuh hari tujuh malam. Seorang pun tidak mengucapkan sepatah kata kepadanya, karena mereka melihat bahwa sangat berat penderitaannya” (Ayb 2:13). Tetapi, teman-teman Ayub memendam penghakiman terhadapnya : bahwa kemalangan Ayub adalah hukuman Tuhan atas dosa-dosanya. Padahal, amal kasih yang benar adalah berbagi tanpa menghakimi, tanpa menuntut perubahan dari orang lain; bebas dari kepalsuan yang jauh di lubuk hati, dari mencari pujian dan kepuasaan diri akan segala kebaikan yang dilakukannya.
Pengalaman penderitaan Ayub menemukan tanggapan tulus hanya di dalam salib Yesus, tindakan kesetiakawanan Allah yang tertinggi kepada kita, sepenuhnya cuma-cuma, berlimpah belas-kasih. Tanggapan kasih terhadap drama penderitan manusia khususnya penderitaan orang-orang yang tidak bersalah, tetap membekaskan  kesan pada tubuh Kristus yang bangkit; luka mulia-Nya adalah skandal bagi iman, tetapi sekaligus juga bukti iman (bdk. Homili untuk kanonisasi Yohanes XXIII dan Yohanes pulus II, 27 April 2014).
Bahkan ketika penyakit, kesepian dan ketidakmampuan membuat kita sulit menjangkau orang-orang lain, pengalaman penderitaan dapat menjadi jalan istimewa untuk menyalurkan berkat dan menjadi sumber untuk memperoleh dan bertumbuh dalam kebijaksanaan hati. Kita menjadi mengerti bagaimana Ayub, di akhir pengalamannya dapat berkata kepada Tuhan : “Hanya dari kata orang saja aku mendengar tentang Engkau, tetapi sekarang mataku sendiri memandang Engkau” (Ayb 42:5). Orang-orang yang tenggelam dalam rasa sakit dan penderitaan ketika menerima hal ini dalam iman, dimampukan menjadi saks-saksi hidup dari iman yang mampu merangkul penderitaan, bahkan meski tanpa mampu mengerti maknanya yang penuh.
  1. Saya mempercayakan Hari Orang Sakit Sedunia ini pada perlindungan keibaan Maria, yang mengandung dan melahirkan Sang Kebijaksanaan: Yesus Kristus, Tuhan Kita.
O Maria, Tahta Kebijaksanaan, jadilah perantara, sebagai Bunda kami bagi semua orang sakit dan mereka yang merawatnya! Anugerahkanlah itu, melalui pelayanan kami bagi sesama yang menderita, dan melalui pengalaman penderitaan itu sendiri, semoga kami menerima dan memupuk kebijaksanaan hati yang benar.
Dengan doa ini, untuk Anda semua, saya menyampaikan berkat Apostolik saya.

Dari Vatikan, 3 Desember 2014
Pada peringatan St. Fransiskus Xaverius

Paus Fransiskus

Disebarluaskan oleh BN Karya Kepausan  Indonesia Jl. Cut Meutia 10, JAKARTA 10340

Sabtu, 07 Februari 2015

Sesaat

DI MANAKAH MEREKA.....?

Sesaat.....
Kutatap Wajah-Wajah Sendu....
Yang Tergores Dalam Lubuk Hatiku
Ketika Aku Pergi Meninggalkan Mereka

Ada Getaran Nada-Nada Cinta
Membahana Dalam Memori Jiwaku
Berbisik Penuh Harapan
Akankah Kujumpai Lagi Mereka?

Tak Ada Kata Lelah....
Ku Menelusuri Relung Hatiku
Penuh Hiasan Suka Dan Duka
Yang Kutapaki Setiap Hari

Perlahan Aku Berpijak
Ku Bertanya Dalam Hati
Di Manakah Wajah-Wajah Mereka?
Yang Menanti Dalam Ketakpastian?

Ku Coba Melangkah....
dalam Nada Penuh Harapan
Wajah-Mu Ku cari....
Janganlah Kau Sembunyikan WajahMu

          Suster Edeltrudis Ye, CSV


Komunitas



KOMUNITAS, KAULAH IBUKU

 
Dalam rahimmu aku dibentuk
Dalam dadamu aku hidup
Dalam pelukanmu aku aman
Dalam naunganmu aku terlindung
Oh...komunitasku
Dikala beban hidup terasa berat di pundak
Kaupun hadir sebagai Simon-Simon yang lain
Dikala persaudaraan tak menjamin kebahagiaan
Kaupun hadir sebagai roh yang mempererat persatuan
Dikala dunia menawarkan berbagai bentuk kenikmatan
Kaupun hadir sebagai penjamin segala
Dikala penyakit datang menghantam jiwa
Kaupun datang sebagai dokter penyembuh ajaib.
Oh...komunitasku
Didalam dikau aku hidup
Didalam dikau aku berkembang
Didalam dikau aku menjadi dewasa
Didalam dikau aku bertahan
Tuk setia dalam panggilan
Menjadi rasul Wajah Kudus tercinta

Sahabat



SAHABAT


 
Sahabat......
Aku tak akan setia jika tanpa kamu
Aku tak akan bertahan jika tanpa kamu
Aku tak akan berkembang jika tanpa kamu
Aku tak akan hidup bahagia jika tanpa kamu.
Sahabat.....
Kutahu kita adalan satu
Satu dalam pencarian Sang Ilahi
Satu dalam penemuan pribadi sejati
Satu dalam perjuangan menggapai impian
Satu dalam membangun kredibilitas diri
Sahabat....
Aku butuh engkau
Untuk mengungkapkan suka-duka hidupku
Untuk mendengarkan rinitihan dan tangisan jiwa
Untuk membagikan rahmat-rahmat kasih Allah
Untuk mengembalikan jiwa yang merana
Sahabat...
Aku butuh engkau
Untuk sama-sama melangkah
Menuju pelukan mesra Sang Wajah tercinta.

Sr. Emiliana Sepe, CSV

Kusembah

HATI YANG MENYEMBAH

Kudatang Tuhan Untuk Menemukan Wajah-Mu
Kudatang Tuhan Dengan Hati Yang Tulus
Hanya Karena Rasa cintaku KepadaMu
Yang Menarik Aku Untuk Dekat PadaMu

Oh WajahMu Yang Kudus
Hanya Hati Yang Menyembah
Membuatku Melekat PadaMu 
Karena Kau adalah Kekasih Hatiku

Engkaulah Segalanya Bagiku
Yang Ku Puja Selama-Lamanya
Ku Mau MenyembahMu
Seumur Hidupku ini
            
                     Sr.Edeltridis Ye,CSV