Renungan
SPIRITUALITAS
SUSTER WAJAH KUDUS
SUSTER WAJAH KUDUS
Mt 26: 17-25
" Mekarlah sebagai bunga yang indah... "
Dalam sesi ini pusat perhatian kita diarahkan pada hal yang sangat
pokok dan amat mendasari seluruh eksistensi kita sebagai kongregasi aktif.
Untuk itu terlebih dahulu kita mendengar salah satu butir Pengakuan St. Agustinus yang diringkas dan disadur oleh Sipke van
der Land tentang SIAPAKAH ALLAH ITU? (hal 13)
Siapakah Allah itu?
Allah adalah ALLAH. Dialah Allah kami.
Engkaulah yang mahatinggi, Yang Mahabaik.
Engkaulah Yang Mahakuasa, Yang Penyayang dan adil.
Engkaulah Yang Tersembunyi,
namun hadir di mana-mana.
Engkaulah Yang Indah dan kuat.
Engkaulah Yang Tetap-kokoh,
namun tak terjangkau.
Engkaulah Yang Tak-berubah,
namun Engkaulah yang mengubah segala sesuatu.
Engkaulah yang senantiasa sibuk,
namun Engkau mahatenang.
Engkau menyatukan dan memelihara,
Engkau memenuhi dan melindungi,
Engkau mencipta dan mengasuh
Engkau menyempurnakan dan mencari,
meskipun Engkau tidak berkekurangan sesuatu.
Engkau mencintai kami,
tetapi bukan karena dorongan nafsu.
Engkau berkarya,
tetapi bukan dengan susah payah.
Engkau dapat marah
tetapi tetap bersabar.
Engkau dapat merasa kecewa,
tetapi tidak mengalami kerugian.
Engkau mengubah tindakan-tindakan-Mu,
tetapi tidak mengubah rencana-Mu.
Engkau menemukan kembali,
meskipun tak pernah Engkau kehilangan sesuatu.
Segala sesuatu yang kami miliki,
berasal dari pada-Mu.
Engkau membayar hutang-hutang kami,
meskipun Engkau sendiri tidak berhutang kepada
seseorang.
Engkau menghapus kesalahan-kesalahan
tanpa mengalami sendiri kerugian.
Allahku, hidupku
kebanggaanku yang mahasuci,
dengan kata-kata ini aku belum mengatakan apa-apa.
Apa daya kata-kata saja
jika orang berbicara tentang diri-Mu?
Bagaimanapun juga aku tidak dapat
membungkam tentang Dikau!
Persekutuan Hidup dan Inti
Spiritualitas
Ada satu prinsip umum yang berlaku di mana-mana: kehidupan
spiritualitas yang mantap akan senantiasa menyanggupkan kita untuk bertahan di
dalam hidup membiara di satu pihak, dan pada pihak lain hal itu akan senantiasa
memberi perspektif baru kepada kita untuk tetap bertahan dalam persekutuan
hidup, baik di dalam komunitas, maupun di dalam kongregasi/tarekat dan
kehidupan karya di tengah masyarakat luas. Dari hakekatnya, spiritualitas yang
sama akan selalu meresapi seluruh pribadi dan setiap karya, apabila kita selalu
berdoa [dengan berdoa Allah hadir dalam
jiwa kita], apabila kita selalu mencari hening dan sunyi [hening dan sunyi adalah jalan emas untuk
memelihara hidup rohani], apabila kita selalu aktif untuk mencari [pencarian yang bermakna adalah berusaha
menemukan akar kehidupan, akar kekuatan pribadi, akar kekuatan komunitas, dan
akar kekuatan masyarakat]. Untuk itu, kehidupan spiritualitas ibarat sumber
rezeki yang senantiasa meneguhkan hati dalam ziarah kehidupan rohani.
Umumnya tarekat-terakat religious selalu menekankan
bahwa kharisma pendiri senantiasa memberi inspirasi kepada para pengikutnya
sedemikan rupa, oleh karena mereka telah dipanggil dalam hidup kongregasi, dan
dengan cara yang sama mereka haruslah berusaha membina dan mengungkapkan sikap
Hamba Yahweh dalam hidup setiap hari. Dalam menjawab tantangan jaman, dengan
kegembiraan dan kesederhanaan, setiap biarawan/wati berusaha mencintai Tuhan
dan mengabdi sesama, terutama mereka yang mengalami kesesakan hidup. Dengan
keyakinan teguh, setiap biarawan/wati berjuang secara rohani untuk memandang
Kristus sang Tersalib, yang secara istimewa telah memanggil menuju suatu karya
dan misi khusus, yakni dengan perantaraan dan melalui kita – sebagai
biarawan/wati - kita rela berbagi harta rohani dan jasmani dengan sesama. Tugas
luhur inilah yang melekat dalam pribadi setiap biawaran/wati, yang juga nanti
memberi inspirasi bagi segala penghayatan hidup kaul-kaul kebiaraan sesuai kata
hati setiap kongregasi.
Hal paling dasariah yang hendaknya direfleksi dengan
matang dari ungkapan ‘spiritualitas’ adalah persekutuan
hidup yakni kita semua dipanggil untuk membina dan membangun serta mengungkapkan
secara bersama-sama persekutuan yang khas dan istimewa dengan Tuhan Pencipta
langit dan bumi. Persekutuan dengan Tuhan telah nampak dalam perilaku Tuhan
Yesus sebagai Hamba Yahweh, dimana
terlihat secara spiritual ‘sosok seorang pribadi unggul’ yang tiada henti mengikatkan
diri pada kehendak Tuhan sebagai sumber satu-satunya kehidupan di muka bumi! Di sini terungkap kualifikasi hidup
dari ‘mereka yang dipanggil’ yakni nasehat supaya bersatu dan merendahkan diri
seperti Kristus (Fil 2: 2b-3) “….hendaklah
kamu sehati sepikir dalam satu kasih, satu jiwa, satu tujuan, dengan tidak
mencari kepentingan sendiri atau puji-pujian yang sia-sia”.
Satu kasih lebih tertuju pada kondisi dan iklim kehidupan, dimana persaudaraan
sejati selalu tumbuh dan berkembang dalam hati dan sanubari manusia. Satu jiwa berkaitan dengan semangat
karya (tulus, ikhlas dan saling percaya-mempercayai) yang selalu harus dibangun
di dalam komunitas dan tarekat: bahwa rekan-rekan sekomunitas dapat
melaksanakan sesuatu yang baik dan bermakna. Satu tujuan berhubungan dengan arah kerja atau setiap prospektus
kegiatan yang kita lakukan, semuanya harus demi dan atas nama kepentingan
sesama (ini adalah mahkota atau cita-cita dari karya dan hidup dalam kongregasi).
Mahkota pelayanan dan hidup bhakti yang dikejar adalah actio sebagai Hamba Yahweh, yang
terjemahannya dilihat dari konteks dimana kita hidup dan berkarya. Bahasa Hamba Yahweh harus diterjemahkan searif
mungkin dalam karya pelayanan dan hidup bhakti yang dipersembahkan kepada
Tuhan, baik yang tersembunyi di dalam hati dan sanubari, maupun yang terungkap
dalam berbagai karya di dalam hidup berkomunitas dan ungkapan respek bagi
kehidupan kongregasi. Sangat mustahil apabila kita menyusun rencana untuk
tampil dengan perkasa sebagai Hamba
Yahweh, lalu pada sisi berbeda kita masih menutup diri untuk tidak
melakukan sesuatu yang bermakna dan berarti bagi komunitas dan kepentingan
kongregasi.
Sekarang kita lebih menukik untuk merefleksi Kharisma
Tarekat Para Suster Wajah Kudus, yang dapat dilihat dalam Buku Peraturan Hidup
no. 2. Saya akan mengutipnya secara lengkap:
“ MENYEBARKAN,
MENYILIH DAN MEMULIHKAN GAMBARAN YESUS YANG MANIS DI DALAM JIWA-JIWA” adalah
charisma dari Pendiri kita. Roh Kudus telah menyatakan kepadanya kekayaan tak
terbatas dari cinta penuh belaskasih Bapak di dalam Wajah Kristus terhina,
sembari menuntunnya untuk menemukan kekuatan inspiratif dari Kongregasi dimana
kita sendiri merasa terpanggil”.
Hemat saya, inilah dasar dari spiritualitas
penyilihan, yang justru menjadi ujung tombak kehidupan dan karya nyata dari
para Suster Wajah Kudus. Dasar spiritualitas penyilihan ada pada hasrat hati
alamiah dari setiap manusia untuk senantiasa mencari Tuhan Pencipta. Tuhan akan
mudah dicari oleh karena dari kekal Allah yang sama selalu mencari manusia di
setiap persimpangan kehidupan di muka bumi. Dalam kisah-kisah Perjanjian Lama
dan Baru, Allah selalu merindukan manusia, agar semua manusia dapat berjumpa
denganNya.
Dalam buku Spiritualitas
Penyilihan (hal 22) ditulis:
“…Suasana
saling mencari ini, berkaitan langsung dengan kerinduan akan sukacita yang
telah ditanamkan Allah dalam hati manusia, sejak manusia itu diciptakanNya.
Manusia senantiasa mencari Allah, namun ia dapat mencariNya karena dari kekal
Allah mencari manusia, sama seperti dikatakan dalam Kidung Agung 2:13-14. Allah
merindukan kita, agar kita ingin berjumpa denganNya dari muka ke muka.
….
Maka spiritualitas penyilihan mempunyai dasarnya pada sejarah keselamatan;
namun dari abad ke abad spiritualitas ini mulai memudar dan makin lama, makin
dikosongkan dari inti teologisnya, sehingga menjadi hanya satu tindakan
lahiriah yang kurang jelas. Tetapi dengan Konsili Vatikan II, berkat dorongan
yang telah diberi kepada Umat Allah untuk mendalami Kitab Suci dan teologi,
maka penyilihan ini juga telah hidup kembali, sesuai dengan Kehendak Allah” (hal 22-23).
Dasar biblis yang dapat dipetik dari kutipan di atas
adalah pemahaman yang intensif dan mendalam mengenai arti dan makna dasar kata penyilihan, yang merujuk pada usaha
memperbaiki sesuatu yang rusak, agar ia tetap layak digunakan, sehingga tidak
hilang dari dunia ini. Dengan demikian cakupan kata ini tertuju juga pada upaya
yang terus-menerus untuk mencapai lagi atau dapat disejajarkan dengan ungkapan
‘menebus’ dan ‘membayar tebusan’ agar
seseorang dapat dibebaskan. Dimensi rohani yang dapat disari dari kata penyilihan, selalu berkisar sekitar
sesuatu yang berasal dari Allah secara khusus dalam diri Tuhan Yesus Kristus. Dalam
dan dengan perantaraan Kristus, Tuhan menciptakan kembali kesatuan ilahi antara
manusia-alam dan Tuhan Pencipta langit dan bumi yang sebelumnya telah
dirusakkan oleh kejahatan yang berada di dalam dunia ini. Manusia dalam
persekutuan dengan kekuatan yang Ilahi dari Tuhan sendiri mengambil bagian
untuk memperbaiki segala yang telah rusak itu melalui karya amal dan perbuatan
cinta kasih yang tulus. Manusia diciptakan menjadi rekan kerja Allah untuk
memperbaharui wajah dunia, agar tercipta kembali persekutuan yang mesrah antara
manusia dan seluruh alam-raya dengan persekutuan Allah Tritunggal: Bapak,
Putera dan Roh Kudus.
Dalam wacana dan refleksi Madre Pendiri, Madre Maria Pia Mastena, ungkapan penyilihan ini tidak semata pilihan
kata-kata tertentu yang mungkin memiliki kekuatan seni dan luapan bahasa secara
kasat mata saja, melainkan berakar pada meditasi akan suatu keterlibatan yang
mendalam, yang justru berakar pada kehidupan Tuhan Yesus sendiri. Dalam buku
Peraturan Hidup, tertulis, “Pengalaman
akan kasih dalam kontemplasi tentang Wajah Kudus mengisyaratkan pentingnya
penyilihan yang menebus” (No. 5). Makna
kata-kata ini ada pada sebuah aliran kekuatan yang turun ke atas manusia
terpanggil untuk terlibat, justru terbit dari sebuah usaha masuk lebih dalam
pada realitas kehidupan Tuhan Yesus sendiri.
Demikian antara lain bunyi lanjutan dari buku Peraturan
Hidup pada nomor yang sama, “… Penyilihan
itu menurut teladan Madre Pendiri, menjadikan kita serupa dengan Kristus Imam
dan Korban persembahan di dalam seluruh pengungkapan hidup kita, serentak
menyatukan kita dengan Misteri Paskah Kristus Tuhan” (nomor 5). Ungkapan
ini memberi sebuah pemahaman yang sangat mendalam kepada kita akan kepenuhan
Misteri Paskah Kristus yang menjadi titik tujuan kehidupan kita, baik secara
pribadi, maupun komunitas dan kongregasi secara keseluruhan. Hidup kita dalam
segala perspektif, harus selalu mengikuti pola kehidupan Kristus sebagai Imam
Agung pada sisi tertentu, dan pada sisi lain haruslah sebagai Korban
Persembahan.
Perspektif penyilihan dalam bingkai Kristus Imam Agung,
hal itu secara gemerlapan dan agung muncul dalam Perayaan Ekaristi Kudus,
karena itu benar kata Madre Pendiri untuk kita semua mengenai strategi
kehidupan yang bermartabat, dimana semuanya harus diakarkan pada Perayaan
Ekaristi Kudus. Di dalam perayaan Ekaristi Kudus, terlihat dengan sangat
lengkap posisi Tuhan Yesus sebagai Imam Agung, yakni Dia yang memberi diriNya
sendiri dan serentak memimpin dan membimbing semua orang kepada inti kehidupan
yakni misteri Keselamatan yang ada dalam Tuhan sendiri! Misteri kemuliaan dan
keagungan Allah yang nampak dalam Ekaristi Kudus tidak mungkin dipisahkan dari
rahasia penderitaan dan wafat Tuhan, yang semuanya terkristalisasi dalam Kurban
Ekaristi Kudus (bdk Peraturan Hidup, No 41).
Tidak saja merayakan dan mengenang Kristus Tuhan sebagai
Imam Agung, melainkan juga harus diingat bahwa di dalam setiap perayaan
Ekaristi Kudus, kita sebagai kongregasi mempersembahkan hakekat hidup kita
sendiri sebagai seorang pengikut Kristus sejati: hidup kita merupakan tanda
syukur (yang nyata) atas iman yang telah kita terima dari Tuhan melalui
pangkuan Gereja Kristus. Syukur dalam perspektif Ekaristis kudus inilah yang
pada gilirannya mendorong kita untuk melakukan semua kegiatan dalam bingkai
doa, meditasi, kontemplasi, refleksi dan berbagai hal yang mendalam dan
mendasar pada spiritualitas yang benar.
Di dalam berbagai kegiatan rohani termasuk Perayaan
Ekaristi Kudus, semua karya kerasulan dan kegembiraan hidup yang telah diterima
dari Tuhan melalui kongregasi ini akan dapat ditumbuh-kembangkan. Persekutuan
erat dengan Allah Tritunggal Mahakudus dalam perayaan Ekaristi merupakan ‘harta
karun’ ilahi dan semuanya harus memberi inspirasi kepada seluruh kehidupan
kongregasi (juga komunitas dan pribadi), yang pada gilirannya kita akan semakin
melihat kehidupan kita sebagai sebuah hidup bhakti yang harum semerbak bagi
Tuhan. Dengan demikian juga kongregasi termasuk dalam hidup dan kekudusan
Gereja yang perlu terus dipupuk dan dikembangkan oleh semua orang dalam Gereja
(KHK 574.2). Titik dasar dan pegangan hidup bhakti adalah menghayati
nasehat-nasehat Injili yang merupakan anugerah ilahi yang dilestarikan
Gereja.
Dengan panduan nasehat-nasehat Injil yang sama setiap
warga Kongregasi Wajah Kudus diresmikan menjadi seorang utusan, untuk secara
lebih pasti menanggapi dalam iman undangan Tuhan sekaligus membhaktikan diri
seutuhnya kepada Tuhan. Dalam beberapa nomor dari Peraturan Hidup Kongregasi
anda, ditegaskan di sana bahwa kaul sebagai sarana dan medium untuk menanggapi
undangan Tuhan dengan cara ‘berada lebih dekat’ pada kekuatanNya yang memberi
hidup (KHK. Kan. 654; bdk Peraturan Hidup nomor 12 s/d 37). Kaul-kaul yang kita
ikrarkan merupakan persembahan kita yang paling bermakna yang melengkapi karya
dan hidup kita di Hadirat Allah (no. 14). Kaul-kaul menyanggupkan kita untuk
tampil dengan perkasa sebagai seorang utusan Kristus. Sebagai seorang utusan,
Yesus Kristus menjadi pusat hidup dan sumber kekuatan dalam menjalankan
perutusan kongregasi yang diterjemahkan dalam kehidupan berkomunitas. Di dalam
kekuatan Roh Kudus, Yesus menjalankan, bukan apa yang diinginkan sendiri
melainkan, melaksanakan tugas perutusan Allah Tritunggal Makahudus: Bapak,
Putera dan Roh Kudus. Tugas utama yang selalu dipelihara dalam bathin adalah
penyerahan diri secara total kepada kepentingan Keselamatan Allah dengan
mengikuti jejak Tuhan Yesus: miskin, mengosongkan diri dari segala kekayaan dan
kemegahan diri agar mampu bersatu dalam Allah dan mencintaiNya dengan segenap
hati.
Prototipe dan model persekutuan kita adalah Allah
Tritunggal: Bapak, Putera dan Roh Kudus. Seorang teman Pastor Redemptoris
(CSsR) suatu waktu di Canberra-Australia (tahun 2003) mengatakan kepadaku
sebagai berikut, biara apapun dalam lingkungan Gereja Katolik, hendaknya
memelihara dalam jiwa kegiatan biaranya
dengan berpedoman pada refleksi berikut: (a)
Allah Bapak sebagai fondasi dan Bapak komunitas religius, (b) Yesus Kristus menjadi saudara sulung
anggota komunitas, dan (c) Roh Kudus
menjadi jiwa komunitas. Hubungan internal di antara ketiga pribadi Allah harus
meresapi pelbagai karya pastoral dan usaha pelayanan serta hidup bhakti dalam
komunitas dan biara. Kasih antara Bapak, Putera dan Roh Kudus harus menjadi
sumber bagi kita untuk memetik kemungkinan dan makna baru dalam usaha
mengembangkan kreatifitas dan inisiatif di dalam kehidupan setiap hari.
Mari secara lebih luas kita merenungkan peran ketiga karakter
penting, sesuai catatan Kitab Suci, untuk lebih memahami peran dan fungsi
Bapak, Putera dan Roh Kudus, terlebih berkenaan dengan kehidupan membiara dalam
tarekat kita.
Tentang Allah
Bapa: Beberapa teks Perjanjian Lama (PL) memberi
ilham bagi pengertian dan penghayatan Yesus Kristus akan Allah Bapa, yang
kemudian diwariskan kepada Gereja sepanjang segala masa. Antara lain beberapa
teks dapat disebut:
2 Sam 7:14; 1 Taw 7:13: “Aku akan menjadi Bapaknya,”
sepenggal janji Allah kepada keluarga Daud. Keluarga Daud selalu melihat Allah
sebagai seorang Bapak yang setia membimbing, Bapak selalu dikaitkan dengan
seorang kepala keluarga yang memiliki otoritas tertentu yang terpuji dan
terpandang, seorang sesepuh keluarga yang senantiasa memberi arahan yang pasti;
Bapak dimengerti sebagai seseorang yang dapat menjamin hidup manusia dalam
sebuah ruang lingkup yang pasti. Kita sebagai nabi bagi zaman ini, akan
dijadikan Allah sebagai ‘anak terkasih’, asal saja (1) kita serius mentaati
hukum dan Perintah Allah, dan (2) kita harus sungguh-sungguh menjadi anak yang
setia dan taat ‘agar’ hidup kita menjadi lebih bermartabat.
Mz 68:6: Bapak bagi anak yatim dan pelindung bagi para
perawan, itulah Allah di kediaman-Nya yang kudus. Allah selalu tampil sebagai
pelindung bagi semua orang yang berhati tulus untuk hidup semata bagi Injil dan
Kerajaan Allah. Kita semua telah berikrar (mengucapkan kaul-kaul kebiaraan)
untuk hidup semata bagi Injil dan Kerajaan Allah. Injil dan Kerajaan Allah
adalah fundasi kehidupan kita; Injil dan Kerajaan Allah adalah kekuatan karya
kita; Injil dan Kerajaan Allah adalah nafas kehidupan kita; Injil dan Kerajaan
Allah merupakan pangkal karya manusia.
Yes 9:5 dan 63:16: Namanya disebut orang: “Bapak yang
kekal,” dan ya Tuhan Engkau sendiri Bapak kami. (Yer 3:4). Rujukan Allah selalu
tertuju pada otoritas yang memberi jaminan atas kepastian hidup (kini) dan masa
depan yang benar dan baik (nanti)! Tuhan disebut sebagai Bapak oleh karena
Tangan KasihNya selalu membimbing hidup manusia menjadi lebih bermakna. Allah
sebagai Bapak dikenal sebagai titik tuju dari setiap perjalanan manusia pada
dinding sejarah.
Dari beberapa kutipan PL ini terlihat bahwa pengertian
Allah sebagai Bapak justeru menekankan “hubungan yang mesra” dan “dimensi
kekeluargaan.” Gambaran mengenai Allah sebagai Bapak menjadi lebih terang dalam
perbendaharaan Tuhan Yesus ketika menyebut relasi-Nya dengan Allah Bapak dalam (Perjanjian
Baru (PB) sebagai berikut:
Mt 5:16: Memuliakan Bapakmu di surga; Mrk 5:48: Seperti
Bapamu di surga sempurna adanya; Mt 6:6: Berdoalah kepada Bapakmu – Bapak kami
di surga; Mt 7:11: yang melakukan kehendak Bapakku; Mt 10:32: Aku mengakui di
depan Bapakku, dll. Dapat dibaca pada teks KS PB lainnya, yakni Mrk 11:25,
14:36; Luk 2:49, 10:22, 23:34 dan 46; Yoh 2:16, 3:35, 5:20, 4:23, 5:17 dan 37,
20:21.
Pikiran kunci dari sebutan Bapak dalam PB adalah Allah
sebagai Bapak yang mengasihi Yesus dan mengasihi setiap umat manusia. Allah
sebagai Bapak selalu memberi sesuatu yang baik sebagai pahala setelah manusia bertindak
sebagai patut seorang anak yang baik. Dalam tarekat kita, Allah bukan sebagai
penguasa, juga bukan sebagai hakim semesta, melainkan terutama sebagai “yang
mencintai.” Tekanan ‘ke-bapak-an’ Allah ada pada “hakekatnya” sebagai CINTA
yang merangkul dan membimbing, memimpin dan menunjuk kepada jalan, kebenaran
dan kehidupan.
Tentang Yesus
Kristus: pribadi kedua dalam Allah Tritunggal.
Yesus adalah saudara kita. Dia adalah yang
sulung dari semua ciptaan Tuhan. Hubungan akrab antara Yesus dan Allah yang
dirasakan sebagai hubungan Bapak-Anak, justeru menjadi ‘warna dasar’ kehidupan
Yesus sepenuhnya, yang selanjutnya diwariskan kepada para murid, lalu kepada
Gereja perdana, dan kini kepada kita kelompok biarawan/wati.
Dalam segala-gala Yesus senantiasa tampil sebagai “Anak
Yang Terkasih,” sekaligus sebagai rupa Allah-Yang-tak-nampak. “Siapa telah
melihat Aku, ia telah melihat Bapak” (Yoh14:9). Selain sebagai saudara sulung,
Yesus juga menjadi ‘soko guru’ kehidupan membiara yang kita miliki. Spiritualitas, atau warna kehidupan rohani
kita haruslah “Kristosentris” yakni terpusat dan terarah pada Yesus Kristus
yang kita sembah dan kita abdi. Yesus Kristus telah memberi dasar-dasar
hidup membiara yakni taat seutuhnya dan selengkapnya kepada Injil dan setia
dalam persekutuan Allah Tritunggal.
Dengan demikian, setiap karya yang kita lakukan, harus
menunjukkan bahwa kitalah murid-murid Kristus, atau pengikut Kristus sejati.
Itu berarti, SALIB, PELAYANAN dan KORBAN adalah pilihan dan komitmen kita
bersama. Jika kita memang konsekuen dengan komitmen atau pilihan ini, maka
sekali kelak kita akan bangkit dan hidup bersama Yesus Kristus.
Pada dinding sejarah kehidupan umat manusia, dan Gereja
Katholik secara khusus, dapat dilihat sebuah jalan praktis dan sangat cemerlang
yang ada dalam pribadi Bunda Maria. Ia telah tampil sebagai tokoh ideal yang
mengikuti jalan Tuhan dengan penuh iman dan pengharapan yang total akan janji
Allah baginya. Dalam usaha menjawab panggilan mengikuti Yesus, semua anggota
kongregasi memandang kepada Bunda Maria sebagai contoh manusia perkasa, yang
telah menyerahkan seluruh diri kepada Tuhan (Peraturan Hidup, nomor 10).
Tentang Roh
Kudus: Roh Kudus adalah jiwa persekutuan atau
kekuatan komunitas. Kalau memang Roh Kudus menjadi jiwa komunitas, maka dengan
sendirinya Roh yang sama menjadi jiwa biara dan sumber kehidupan tarekat,
kekuatan yang senantiasa menggerakan semua karya pelayanan komunitas. Secara umum
dapat dikatakan di sini, karya kita di tengah orang-orang kecil dan sederhana
mustahil berjalan sebagaimana diharapkan, bila tidak ditunjang langsung oleh
karya Roh Kudus.
Para teolog dan spiritualis sama-sama mengakui Roh Kudus
sebagai satu kekuatan Ilahi yang Dialah jiwa Gereja, jiwa para beriman dan
tenaga surgawi yang menggerakan segala-galanya. Dalam Kitab Suci, baik PL maupun PB di sana terdapat ungkapan sangat banyak dan amat
kaya mengenai siapa dan apa itu Roh Kudus. Berikut, satu dua kutipan sebagai
contoh. Ada
yang menyebut:
Roh Allah: asal dari Roh itu adalah Allah sendiri. Roh
Kebenaran: tujuan yang akan dicapai
dalam setiap perjalanan hidup manusia adalah kebenaran sejati yang diilhami Roh
Kudus. Roh Kudus: karya dari kekuatan tersebut (kekuatan Ilahi) selalu
membimbing kepada kekudusan. Roh Ilahi: awal hidup Roh tersebut tidak mampu
difahami oleh akal dan budi manusia yang rapuh.
Kej 1:2: “…….Bumi belum terbentuk dan kosong; gelap
gulita menutupi samudera raya, dan Roh Allah melayang-layang di atas permukaan
air; Kej 41:38; Ayp 33:4; Mt 3:16 dll.Yoh 14:16-17, Aku akan meminta kepada Roh
Kudus. Yes 63:10, “…..tetapi mereka memberontak dan mendukakan Roh Kudus-Nya;
maka Ia berubah menjadi musuh mereka; dan ia sendiri berperang melawan mereka.
Sebagaimana disebut tadi, Roh Kudus dijuluki dengan nama Roh Tuhan, Roh Yesus
dan Roh Allah yang senantiasa menggerakkan Gereja untuk semakin bertumbuh dan
berkembang. Dengan demikian, kita secara pribadi, komunitas dan tarekat
menerima kekuatan yang sama yang diberi Tuhan ke pangkuan Gereja. Kekuatan yang
sama menyanggupkan kita untuk tidak saja berdialog dengan semua orang,
melainkan juga meneguhkan hati, iman dan pengharapan untuk bersaksi tentang
cinta kasih yang diwariskan pendiri kita.
Roh Kudus yang sama
memampukan kita untuk saling mengerti, saling menerima perbedaan tanpa
menghakimi, saling melayani tanpa menuntut, saling memberi tanpa menghitung,
saling menghormati dengan sikap hati yang jujur, itikad yang tulus dan terbuka.
Roh Kudus yang sama menghilangkan perbedaan dan kecurigaan di antara sesama
warga tarekat, rekan se-Gereja, tetangga di dalam masyarakat umum. Roh Kudus
yang sama memberi serta meneguhkan harapan untuk hidup dan bertahan sebagai
warga dalam komunitas, dalam tarekat atau kongregasi dengan tujuan dan sasaran
tertentu sesuai konstitusi kita. Roh Kudus membesarkan hati dan membantu kita
untuk membangun persaudaraan sejati di tengah perbedaan yang mungkin sering
membawa hal-hal kurang menyenangkan di antara kita. Roh Kudus memberanikan kita
untuk mencari jalan dan cara pastoral hidup yang lebih baik dengan berlutut di
Hadirat Allah. Roh Kudus membantu kita untuk dapat berjumpa dengan jati diri
dan sentra hidup rohani kita.
Sebagai kongregasi,
segala yang kita lakukan demi dan atas nama kepentingan orang kecil dan mereka
yang sangat sederhana, semuanya mustahil berjalan dengan baik, apabila hal itu
tidak ditunjang langsung oleh karya Roh Kudus. Sebagaimana Yesus Kristus yang
dalam seluruh hidupnya senantiasa membutuhkan daya ilahi dan terang Roh Tuhan,
maka kita selaku pengikut-Nya juga membutuhkan terang Roh Kudus yang sama.
Setelah kita melihat tiga kekuatan dalam tubuh Gereja
dan juga kunci kehidupan sebagaimana
yang terpancar dari dalam kehidupan Bunda Maria, kita sesungguhnya diingatkan
akan hidup spiritual dan kepentingan dimensi tidak kelihatan (hidup rohani) dari pola kehidupan membiara.
Berdasarkan charisma yang kita miliki, Ibu Pendiri Madre Maria Pia mendorong
kita untuk senantiasa menyimpan dalam hati dan budi semangat Kongregasi, yang
secara lengkap dapat dilihat pada kutipan berikut:
“Semangat
kita didasarkan pada warta Kitab Suci tentang manusia yang diciptakan menurut
gambaran dan rupa Allah (Kej. 1:26-27). Demikian juga, karena telah ditentukan
menjadi sama seperti Dia (Kej 3:5), manusia dipanggil untuk bertumbuh subur
dalam cinta dan untuk menguasai serta mengatur segala ciptaan (Kej 1:28).
Walaupun karena dosa manusia telah berubah dalam corak hidup dan tingkah
lakunya, manusia tetap dijaga oleh Allah dalam tujuannya (Kej 3:15), yang
diwujudnyatakan di dalam Putera yang menjadi manusia” (Peraturan Hidup, nomor 3).
Hemat saya refleksi kita akan menjadi lengkap berkenaan dengan
kutipan Peratuan Hidup nomor ketiga ini, jika langsung disambung dengan nomor
berikutnya yakni nomor keempat sebagai berikut:
“Yesus
adalah Gambaran sejati dari Allah yang tak kelihatan (Kol 1:15), teladan (Yoh
1:3) dan kepenuhan segala ciptaan (Ef 1:6-12), dan oleh Misteri Salib dan
Kebangkitan (Fil 2:5-11) semua orang dipanggil untuk menjadi serupa dengan
GambaranNya (Rom 8:29). Roh Kuduslah yang memulihkan di dalam kita gambaran
Allah yang sesuai dengan rupa Kristus (Rom 8:14-17; Kej 14:16) melalui Gereja
yang Ia kasihi, bimbing dan lindungi. Dialah meterai dan jaminan, pembagi
segala rahmat dan karunia (1 Kor 12:4-11; Ef 4:11-16) yang memungkinkan semua
dan setiap orang di dalam Gereja untuk menyerupai Kristus” (Peraturan Hidup nomor 4).
Dengan menghayati spiritualitas kongregasi secara perseorangan dan
bersama, kita saling membantu mewujudkan perutusan kongregasi, dengan
mengutamakan karya pelayanan kepada mereka yang menderita ketidak-adilan di
dalam masyarakat. Kita mewujudkan karya perutusan ini dalam ikatan kaul yang
mengungkapkan penyerahan diri kita
seutuhnya kepada Tuhan. Panggilan kita adalah mengikuti Dia sebagai Hamba Yahweh. Dalam perspektif Yesus,
menjadi hamba adalah tunduk di bawah salib untuk memperoleh mahkota kebangkitan
dan anugerah kehidupan.
Spiritualitas Salib dan
kita
Ibu Pendiri Kongregasi telah membuktikan suatu kedekatan yang sangat
khas dan amat istimewa dengan Yesus dalam mengamalkam misteri Salib,
spiritulitas pengharapan, dan penampilan penuh iman di hadirat Tuhan Yang
Mahakuasa, sebagaimana terpateri dengan sangat indah dalam diri Bunda Maria
(Peraturan Hidup, nomor 10). Sudah
seharusnya SPIRITUALITAS SALIB, dimana Yesus Penebus sudah menjadi
sependeritaan, sepenanggungan, dan senasib dengan manusia, harus pula menjadi
sumber inspirasi kehidupan Anda: apakah itu hidup pribadi, atau komunitas dan kongregasi
secara keseluruhan. Makna penyilihan ada
secara cemerlang dalam rahasia Salib! Untuk itulah kenyataan salib tak dapat
dielakkan dari seluruh kehidupan kita.” Bunyi pernyataan ini mengarahkan
perhatian kita pada pengertian: Salib selalu identik (sama dengan) karya
kongregasi. Jika toh spiritualitas tarekat adalah penyilihan, dan inti penyilihan ada pada misteri salib, maka sekali
lagi harus diulang di sini bahwa seluruh kehidupan Yesus Kristus merupakan
sebuah undangan bagi kita untuk “berbagi rasa” dalam derita dan “ikut mengambil
bagian” dalam penderitaan dan hidup sesama.
Ibu Pendiri Kongregasi dan anda semua yang bergabung di
dalamnya sudah terpesona, terpaut dan tergerak hati serta terikat untuk
mengamalkan cinta kasih dengan
melukis dalam karya-karya pelayanan yang konkret di antara sesama. Di sini Anda
sangat membutuhkan iman dan pengharapan untuk berani terlibat dalam “menanggung
salib.” Supaya Anda dapat terlibat dalam masyarakat yang selalu menjerit
meminta bantuan, selain dibutuhkan DEKAT DENGAN TUHAN, juga dibutuhkan
KEBERANIAN untuk berjalan bersama mereka dan siap membantu mereka sesuai
kebutuhan dan kepentingan mereka. “Seperti Yesus sang Sabda yang sudah menjadi
daging dan tinggal di antara kita, dan menyatu dalam seluruh kehidupan manusia,
kecuali dalam hal dosa, demikian juga seluruh kehidupan apostolis kita terarah
kepada persatuan dengan Yesus yang berarti bersatu dengan sesama, terutama
dengan sesama yang kecil dan menderita (Mt 25:40).
Prinsip dasar yang hendaknya selalu diperhatikan adalah
bahwa SPIRITUALITAS akan selalu meresapi seluruh pribadi dan setiap karya,
apabila kita senantiasa BERDOA: dengan berdoa, Allah hadir di dalam jiwa kita;
senantiasa HENING dan SUNYI: dengan
hening dan sunyi, kita mampu memelihara hidup rohani dan mempertahankan cara
hidup seperti yang telah kita pilih; senantiasa MENCARI AKAR KEHIDUPAN dan AKAR KEKUATAN PRIBADI: dengan cara ini
kita semakin mencintai pola hidup membiara yang sedang kita arungi; senantiasa
mencari akar kehidupan dan akar kekuatan KOMUNITAS dan KONGREGASI, agar kita tidak mudah goyah
oleh goncangan jaman yang semakin tidak menentu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar