Suster Maria.., demikian perempuan kelahiran Wolokoli, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur (NTT) ini biasa disapa oleh orang-orang yang mengenalnya. Anak dari Paulus Poa dan Ibu Victoria Lamen ini memilih hidup membiara menjadi suster (Sr) dan kini telah bertugas di berbagai negara, seperti Roma, Italia dan Bolivia, Amerika Latin dalam CONGREGAZIONE DEL SANTO VOLTO (CSV). Saat berkomunikasi dengan Floresnews.com, perempuan pemberani bernama lengkap Sr. Maria Fifi Sumanti, CSV, mengungkapkan kegembiraan iman yang telah mengantarnya menjadi seorang pekerja penabur benih cinta kasih di dunia ini.
Berikut kisah dan refleksi imannya yang dikirim ke redaksi media ini dari Kota Bolivia:
Menjawab panggilan Tuhan adalah sebuah pengalaman hidup yang mendalam, kerena melibatkan Iman, kemauan dan keberanian. Dalam menjawab panggilan Tuhan pun teryata tidak sekali jadi, tetapi melalui sebuah proses yang terus menerus, bahkan seumur hidup.
Mengapa saya memilih “”berpetualang dalam cinta” sebagai topik untuk mensharingkan tentang pengalaman hidup dan panggilan saya? Bagi saya, setiap saat dan setiap waktu dalam hidup saya adalah sebuah petualangan cinta. Saya lahir, ada dan hidup, bukan kerena kebetulan tetapi kerena “Cinta” dan keputusan untuk menjadi suster pun adalah karena “Cinta”. Bagi saya cinta adalah sebuah petualangan hidup. Apapun yang terjadi dalam setiap hidup dan kehidupan saya, saya percaya dan yakin bahwa itu semua karena “Cinta”. Segala tantangan dan cobaan yang ada, dan yang akan datang saya percaya, kalau Tuhan punya rencana di balik semuanya itu.
Menjadi religius atau menjadi seorang biarawati, bukanlah cita – cita saya sawaktu kecil, namun berdasarkan pengalaman, muncul kesadaran dan pemahaman bahwa setiap orang dalam hidupnya dihadapkan pada sebuah pilihan yaitu; pilihan untuk menghayati hidup sesuai dengan keyakinan sebagai sebuah jawaban atas panggilan Tuhan.
Sebenarnya perkenalanku dengan kaum religius, sudah sejak masa kanak – kanak. Di keluargaku ada 1 orang pastor Projo dan 2 orang suster OSF. Namun demikian, saya tidak merasa tersentuh untuk menjadi seorang suster. Memang, ada sesuatu yang menarik dalam figur kepribadian mereka yang membekas di hati saya, yaitu perasaan kagum dan senang ketika saya melihat dan bertemu mereka, namun itu hanya sebatas sebuah perasaan senang dan kagum, tidak membangkitkan sebuah keinginan dari dalam hati saya untuk menjadi seorang biarawati.
Waktu SMA, ada beberapa biara yang datang untuk memperkenalkan konggregasi dan sekalian untuk promosi panggilan, tetapi bagi saya tidak ada sesuatu yang begitu istimewa, dan hati saya tidak tergerak untuk hidup membiara. Memang dalam perjalanan waktu, saat hidup menuntut saya untuk memilih, saya mencoba dan berusaha untuk bertanya pada diri saya sendiri; Mengapa saya hidup? Kemana saya pergi dan apa sebenarnya yang saya inginkan dalam hidup ini? Pertanyaan – pertanyaan ini selalu berputar kembali dalam pikiran saya dan menghantar saya pada sebuah pilihan hidup.
Lalu, mengapa saya memilih untuk menjadi suster? Tentu bukan untuk sebuah “karir”, di zaman sekarang menjadi seorang wanita “karir” tentu bukan dengan memutuskan untuk menjadi biarawati. Untuk mendapatkan pujian dari orang lain? Kita semua telah mengetahui, apa yang orang – orang pikirkan tentang kaum religius; Juga tentu bukan untuk memiliki para penggemar di sekeliling yang mencintai dan mengagung – agungkan.
Untuk bisa menolong dan menjadi orang yang berguna untuk orang lain? Semoga dan mudah mudahan. Ketika kita mengetahui bahwa sering kali, orang – orang yang berelasi dengan kita atau orang – orang yang datang untuk megunjungi dan bertemu dengan kita kaum religius hanya untuk “menginginkan sesuatu” dari kita, sebuah bantuan atau pertolongan yang hanya bersifat sementara, mungkin juga meminta tanpa sebuah kejujuran.
Saya memilih dan memutuskan untuk “Hidup Bakti”, hidup hanya untuk Tuhan seperti halnya Santo Agostino d’Ippona. Santo Agustinus, sebelum bertobat dan kemudian menjadi imam dan uskup di Ippona, beliau mengalami segala macam pengalaman yang baik dan tidak baik, yang menyenangkan dan yang tidak menyenangkan, yang pada akhirnya Agustinus sendiri berhenti. Pertanyaan mengapa día berhenti, kita temukan dalam kata – katanya yang dalam bahasa latin; “et inquietum est cor nostrum donec requiescat in te.”(dan hati kami gelisah sebelum beristirahat di dalam dikau). Adalah sebuah kepasrahan dari setiap manusia untuk mencapai kedamain dalam hatinya.
Saya melihat, mengenali dan menerima diriku sendiri apa adanya, dan saya merasakan sentuhan kasih Allah dalam hidup saya. Dan sentuhan kasih Allah inilah yang mendorong saya untuk menyerahkan seluruh diri dan hidup saya untuk “Menyebarkan, Menyilih dan Memulihkan Wajah Yesus di dalam Alam Jiwa – Jiwa,” dalam tarekat Konggregasi Wajah Kudus. (bersambung) (BKR/sf/fn)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar