MENGALAMI KEKOSONGAN HIDUP
Pemimpin: Kitab Suci menceritakan kisah seorang janda di Sarfat Sidon, yang percaya dan menerima firman Allah melalui nabi Elia.
Bacaan: 1 Raja-raja 17, 1-16
Beberapa refleksi singkat dari teks Kitab Suci oleh Pier Luigi Ricci.
Lektor: "…tepung dalam tempayan tidak akan habis dan minyak dalam buli-buli itupun tidak berkurang" seperti firman Tuhan yang diucapkan-Nya dengan perantaraan Elia. Mungkin ada seribu alasan untuk dibahas ataupun ditolak karena permintaan nabi Elia itu tidak beralasan. Saya selalu merasa terharu dengan akhir kisah itu karena Allah sendiri memberi imbalan atas kesediaan janda itu, apabila setiap yang dimiliki dibagi-bagikan dengan orang lain bukan berarti akan berkurang melainkan akan dilipat gandakan. Tetapi bagian ini merupakan hal yang paling mudah bagi kita yaitu "sesudahnya".
Sebaliknya saya selalu bingung dengan sesuatu yang terjadi "sebelumnya", tindakan tegas yang dilakukan tanpa bisa dicegah. Disanalah terlihat kehebatan perempuan itu. Kitab Suci menceritakannya demikian: "lalu pergilah perempuan itu dan berbuat seperti yang dikatakan Elia". Ini adalah iman. Merupakan sesuatu yang lebih mengharukan dari sesudahnya. Anda sering merasa hampa tanpa kepastian dan perlindungan. Hidup ini sering menawarkan kita kesempatan untuk mengalami iman. Ada saat-saat dimana anda berada di persimpangan jalan: anda bisa memutuskan untuk memperoleh keselamatan dan perlindungan atau memilih untuk menjatuhkan diri tanpa perlindungan dan penjelasan. Dan itu adalah saat yang menentukan karena semuanya diputuskan "sebelumnya". Anda harus mencoba apabila belum pernah melakukannya. Jangan meminta saya untuk menjelaskan bagaimana caranya, kalau anda mau silakan belajar dari janda di Sarepta.
- Demikian juga Sr. Passitea ia pernah mengalami "kekosongan hidup" tetapi ia tetap percaya kepada Allah dengan menerima Uskup Eugenio Beccegato dimana dalam keadaan sesulit apapun tetap percaya bahwa Allah sendirilah yang memberikan misi khusus kepada Beata Mastena. Imanlah yang menjadi pegangan hidup Madre Mastena ketika mengalami kesulitan dan kegelapan hidup. Seperti yang terjadi dengan janda di Sarepta dimana tepung dan minyak tidak akan berkurang, demikian juga dengan benih yang disemaikan dalam kerapuhan hidup Madre, berkat imannya yang kuat benih itu tidak layu melainkan bertumbuh menjadi pohon yang menghasilkan buah.
“ … demikianlah apa yang terjadi di Miane pada tahun 1927. Pada tembok depan rumah suster-suster, superior sr. Passitea menulis kalimat ini "Rumah damai" dan selama 19 tahun beliau terus mengawasinya dengan penuh kasih, sehingga tidak ada seorangpun mengganggunya. Sesuatu telah terjadi tanpa perkiraan, hari itu
taman kanak-kanak di Miane. Seperti "kunjungan kanonik" yang berlangsung sampai tanggal 15 April, hari Jumad Agung. Dan pagi itu (atas perintah): " Semua di atas kereta kuda". Begitulah yang terjadi. Sang kusir sedang menunggu( untuk membawa sr. Mastena dan dua orang yang mengunjunginya ke Verona). Ketika kereta kuda tiba di Pieve di Soligo, sr. Mastena mengalami krisis yang kuat dan ingin kembali ke Miane untuk meminta nasihat dari pastor paroki, yang tahu dengan baik apa yang dilakukan Mastena, sebagai pastor paroki yang baik don Ernesto Lombardi meminta kusir untuk menghantar sr.Passitea ke Vittorio Veneto untuk menemui Uskup Eugenio Beccegato yang telah mengenalnya dengan baik selama 10 tahun, dan bertanggung jawab atas semua yang terjadi. Dan malam itu, Jumad agung 15 April 1927, sr. Passitea meninggalkan untuk selamanya Kongregasi suster-suster yang Berbelaskasih di Verona untuk masuk dalam Trapis Cistercensi di S. Giacomo di Veglia. Setelah 9 bulan tepatnya 17 November 1927, Mgr. Beccegato menyarankan beliau untuk keluar dari Trapis dan kembali ke Miane untuk memulai tahun ajaran baru… dan Allah sendiri yang memperhatikannya… Allah telah menabur benih dalam hati sr. Mastena sejak tahun 1911, dan benih itu tidak mati tetapi di bawah bimbingan dan perlindungan uskup Beccegato menjadi Kongregasi suster-suster Wajah Kudus.
Injil Matius 15,21-28
Buah-buah pikiran yang diambil dari ulasan G. V
Lektor: Pada awalnya perempuan Kanaan itu memperoleh jawaban yang sangat keras dan menantang: "Aku diutusnya kepada domba-domba yang hilang dari umat Israel; tidak patut mengambil roti yang disediakan bagi anak-anak dan melemparkannya kepada anjing". Perempuan itupun mengerti dan jawabannya adalah sebuah pernyataan iman: "Anjing-anjing itu makan dari remah-remah yang jatuh dari meja tuannya". Seolah-olah ia mengatakan: "Engkau adalah roti yang disediakan bagi anak-anak tuan tetapi juga merupakan makanan bagi anjing-anjing yang memungut remah-remah yang jatuh dari meja". Perempuan itu memahaminya dan jawaban yang diberikannya merupakan sebuah penegasan: "Tidak ada lagi anak-anak tuan dan tidak beriman, engkau adalah santapan untuk satu dan yang lainnya"… Ini adalah iman yang menyembuhkan anaknya yang "menderita kerasukan setan"… "Hai ibu besarlah imanmu". Baginya iman adalah menerima apa yang ia pahami, baginya iman adalah membiarkan diri untuk bersatu dengan Kristus. Dengan iman yang besar perempuan Kanaan itu percaya bahwa Kristus adalah satu-satunya pusat dari semua keyakinan dan barangsiapa percaya kepada-Nya akan memperoleh kehidupan… Seperti matahari, satu-satunya yang bisa dilihat oleh miliaran mata, demikian juga Kristus hadir dan dirasakan oleh miliaran hati. Kristus adalah nafas kehidupan, pengajarannya yang ilahi dapat ditemukan kapan dan dimana saja.
Mastena, ia memahami dan menjadikan hidupnya suatu pengungkapan iman, ia mengerti… dan jawabannya adalah "…hidup yang mengikuti irama penderitaan, doa dan cinta kasih. Kita juga ingin tahu apa yang terjadi dalam pertemuan antara Allah sendiri dan Madre Mastena pada malam 28 Juni 1951. Jam 11 malam Madre Mastena beranjak ke kamar dan meminta segelas air. Setelah ia membuat tanda salib dan mendekatkan gelas ke bibir… ia tidak mempunyai kekuatan lagi… kemudian ia jatuh… Madre Mastena pun meninggal dunia". (dari buku Seorang ibu yang kuat)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar