Tuhanlah yang memanggilku
Di sebuah
kampung kecil, Kundore-Nangapanda pada tanggal 19 September 1974 dini hari,
lahirlah seorang bayi dari pasangan petani sederhana bapak Cosmas Le dan mama
Lusia Mbu’e. Bayi itu diberi nama Emiliana Sepe. Bayi itu adalah saya sendiri. Saya anak ke tiga dari empat bersaudara. Saya
hidup, bertumbuh dan berkembang dalam keluarga sederhana. Dalam kesederhanaan
hidup, kami sekeluarga sungguh
menciptakan persaudaraan dan kekerabatan
yang baik. Tahun 1980 saya masuk Taman Kanak-Kanak. Setahun kemudian saya melanjutkan ke Sekolah Dasar
Katolik. Saya melewati pendidikan dasarku, dengan susah payah, karena kesulitan
ekonomi untuk membiayai pendidikannku. Ayahku sering – sering sakit sehingga om
dan tantaku yang hidup serumah yang
menopang hidup kami. Masa kecilku kulalui dengan penuh pengorbanan tanpa
beban karena saya telah menjadi ibu kecil untuk kedua adikku, karena mama
sering ke kebun meninggalkan adikku dalam asuhanku. Nenekku yang tua juga
membutuhkan perhatian dan pelayanan. Dengan tangan , dan hatiku yang kecil ini,
saya telah menjadi ibu kecil
bagi keluargaku dengan memberi pelayanan kepada bapak, nenek dan adikku
di rumah.
Semenjak
kecilku, saya sangat giat dengan kegiatan rohani di gereja, sekolah maupun di
lingkungan. Sering kali bapakku melarang untuk tidak boleh mengikuti kegiatan doa bersama atau kegiatan rohani
lainnya, karena saya harus menjaga dan merawatnya. Itu menjadi dilema besar untuk saya, kadang saya menangis sendiri, namun
karena cinta saya kepada bapak membuat saya terima hal itu dengan tenang dan
pasrah. Bapakku adalah seorang
yang keras, tegas dan kejam. Lain dengan pribadi mamaku. Ia seorang yang
lembut, tekun bekerja tanpa kata, sabar, setia, sederhana, rendah hati dan rela
berkorban. Iman dan kepribadianku bertumbuh dengan baik, selain dari keluarga,
juga dari lingkungan sekitarku, serta melalui keaktifanku dalam berbagai bentuk
kegiatan rohani dan kemasyrakatan.
Ketertarikanku menjadi seorang
pelayan Tuhan, muncul saat saya masih di bangku Sekolah Dasar, karena saya merasa tertarik
dengan pribadi seorang pastor yang menunjukkan semangat pelayanan dan
kerendahan hati untuk memperhatikan umat yang miskin, serta cara dan gaya
berkotbah yang menarik. Waktu itu saya berpikir bahwa saya ingin seperti mereka, tapi bagaimana saya ini
perempuan, maklum saja waktu itu saya belum tahu bahwa ada perempuan yang
memilih hidup seperti itu yang disebut suster.
Dalam perjalananan waktu ketika usia kelahiranku
memasuki sepuluh tahun, bapakku meninggal. Dengan kepergian bapak membawa
kedukaan bagi kami sekeluarga, tanggungjawab penuh ada dalam tangan om dan
tanta. Kedua saudaraku yang saat itu duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama ( SMP)
putus sekolah, kedua adikku masih kecil betul. Mamaku harus banting tulang
bekerja kebun. Saya berpikir jangan-jangan saya juga akan gagal sekolah seperti
kedua kakakku, saya harus siap menerimanya. Namun berkat bantuan roh
Tuhan saya di antar oleh mama, nenek dan tanta kepada sebuah keluarga yang baik
hati, mereka menyerahkan saya secara resmih kepada asuhan mereka. Mulai saat
itu, tanggungjawab terhadap diri, sekolah dan hidup saya ada dalam tangan
keluarga itu. Hatiku berat meninggalkan mama dan keluarga semua dalam kesulitan hidup seperti itu, tapi saya ikut dan pasrah
pada keadaan, karena mungkin itulah jalan Tuhan dan kemana
Tuhan mau menghantar saya.
Awal hidupku yang baru,
segala-galanya baru. Saya harus menyesuaikan diri dengan kehidupan baru dengan
latar belakang keluarga yang sangat berbeda dengan keluargaku. Namun berkat
kesabaran dan ketekunanku saya mampu menyesuaikan diri. Mereka sungguh
menyayangi saya seperti anak kandung. Mereka mempercayakan banyak hal kepadaku, termasuk hal mengurus makan-minum
keluarga dan memperhatikan anak-anak mereka yang semuanya masih kecil. Saya menyelesaikan sekolah Dasar dalam asuhan
mereka, dan melanjutkan ke SLTP dan SLTA. Masa pendidikanku kulalui dengan baik,
namun saya mengalami tantangan besar ketika di bangku kelas dua SMA mama
kandungku mengalami sruk berat. Mau lanjutkan sekolah? Mau perhatikan
adikku, mau urus mama berarti harus
keluar dari rumah…bingung saya. Kuberdoa dan terus berdoa, ternyata Tuhan
menunjukkan jalannya, semuanya terselesaikan dengan baik , mama mulai berangsur
- angsur sembuh. Saya tetap bertahan dirumah dan melanjutkan pendidikan. Saya
bersyukur karena orang tua angkatku itu, begitu mencintai dan mereka mendidik
kami anak-anak dengan sangat bijaksana. Kami dididik untuk bekerja dan
bertanggungjawab terhadap tugas, tertib dengan aturan, aktif dalam berbagai
kegiatan rohani maupun kemasyrakatan, sabar menghadapi setiap tantangan hidup.
Setelah menyelesaikan pendidikan di
SLTA saya mencoba, untuk mencari nafkah demi menghidupi dan membiayai adikku
yang masih sekolah. Saya melamar disebuah LSM yang memperhatikan
keluarga-keluarga miskin dan anak-anak terlantar dan bekerja selama satu tahun.
Upah yang saya terima sangat cukup. Saya senang. Selain bekerja di SLM, saya
mengisi waktu di rumah dengan membuat kue-kue, berkebun, pelihara hewan dan bertenun. Penghasilanku
sebulan cukup, namun semua yang saya peroleh itu tidak memberi kebahagiaan
dalam batinku, dan dorongan aneh dalam diriku tetap menggema bahwa saya harus
menjadi pelayan Tuhan. Itu memang saya rasakan, tapi saya malu untuk menyampaikan
kepada orangtuaku akan hal itu. Karena selain rasa malu dan takut juga muncul
perasaan, mana mungkin seorang anak kampungan bisa menjadi suster .
Kujalani rutinitas harianku dengan
tenang, sabar, dan penuh sukacita. Dorongan untuk menjadi suster tetap saya
rasakan, tetapi belum ada rasa percaya diri. Suatu hari, ketika saya sedang
dalam perjalanan dari rumah menuju sebuah kios untuk menghantar kue jualanku,
pastor parokiku yang mengenal sungguh siapa saya dan bagaimana hidup saya, Ia
menegur dan memanggilku. “ Emi….engkau tidak cocok hidup seperti itu, engkau
cocok menjadi suster, untuk melayani dan memperhatikan orang miskin di dunia
ini.” Saya sadar bahwa ini adalah suara Tuhan. Pada waktu itu, mata hatiku
terbuka dan saya mulai memberanikan diri dan percaya bahwa Tuhan sungguh
membutuhkan saya untuk menjadi penyalur rahmatnya, dengan apa adanya diriku
ini. Saya mulai nekat mengambil keputusan dan meminta bantuan dari pastorku
untuk mendampingi saya dalam proses persiapan menuju biara, karena banyak hal
yang menghambat niat baikku ini, termasuk mama kandung dan kakak sulungku yang tidak merestui . saya
mengerti keadaan mamaku, karena waktu itu struknya belum sembuh total. Saya
berdoa dengan sabar sambil menanti waktu dan saat yang indah bagi saya untuk
melangkah pada jalan Tuhan ini. Sedangkan orang tua angkatku sangat menyetujui
pilihanku itu.
Semuanya akan indah pada waktunya, Tuhan
mendengarkan permohonanku, suatu hari, mama kandungku memanggilku dengan suara
yang begitu lembut, dengan keadaan fisiknya yang tak berdaya, ia berkata.
kepadaku “ Emi….kalau memang ini adalah pilihanmu, mama sekarang setuju engkau
pergi, tapi ingat….jadilah suster yang baik yang disenangi dan menbahagiakan
banyak orang.! “ dengan tetesan air mata saya memeluk mamaku dan berkata “ mama
terima kasih , mamaku...Tuhan selalu menjagamu.
Sejak mendapat restu dari mamaku,
segera saya mendekati pastor parokiku untuk urusan selanjutnya. Saya ditunjuk
untuk melamar diri di Biara Wajah Kudus, katanya saya cocok dengan spritualitas
kongregasi ini. Saya segera melamar dan segala proses berjalan dengan baik.
Akhirnya tibalah saatnya bagiku untuk melangkah meninggalkan segalanya. Sabtu
30 November 1996, saya menginjakkan kakiku di pintu biara Wajah Kudus di Koting. Duniaku terasa baru. Hampir
setiap hari kuteteskan airmataku bila mengenang keluargaku, maklum pertama kali
meninggalkan keluarga dan kampung halaman. Namun selalu saya sadari bahwa air mataku ini adalah air mata
pembebasan yang mendewasakan dan mematangkan pilihan hidupku ini. Tahun perdana
kulewati dengan baik, walaupun kutemukan banyak kesulitan dan tantangan
termasuk sakit. Saya sadar Kasih Tuhan selalu bersamaku dan Ia tidak pernah
meninggalkanku.
Tahap demi tahap pembentukan diriku kulewati
bersama Tuhan. Peranan para pemimpin dan pembimbing dan para saudari dalam
komunitas telah membangunkan saya dari tidurku, dan pergi menyatu diri dengan
Yesus sehingga Wajah
Yesus yang rusak dalam diriku dan dalam diri sesama dapat dipulihkan. Tak
terasa saya telah mencapai saat penyerahan diri pada sang Wajah Kudus melalui
pengikraran kaul-kaul suciku. Pada April 2001, bersama ke-3 temanku kami
menghadap altar Tuhan untuk mengikrarkan profesi pertama, dengan motto
kaul pertamaku “ Aku hamba yang tidak
berguna, aku melakukan apa yang dapat dilakukan “ Saya sangat bahagia, karena telah menjadi
mempelai Sang Wajah Kudus. Kaul pertamaku bukanlah akhir dari seluruh
perjuangan, dan bukan tetap tinggal pada satu atap. Tapi, merupakan awal dari
sebuah hidup baru dan akan melangkah pergi menjadi rasul Wajah Kudus di mana di
utus.
Awal Juli 2001, saya menerima SK penempatan di
Komunitas Koting, untuk berkarya di Sekolah Taman Kanak-Kanak. Saya dengan
senang hati siap menerima dan berangkat. Saya berangkat menuju Koting. Selama
setahun saya mengajar sambil belajar bagaimana menjadi guru bagi anak-anak usia
emas berlian ini. Memasuki tahun kedua yuniores saya sakit. Selama setahun saya
harus menjaga dan merawat kesehatanku. Saya bertahan dikomunitas. Sabar dan
terus bersabar menanti kesembuhan. Akhirnya sembuh juga. Karena melihat bahwa
saya memiliki potensi menjadi guru, maka Tahun 2003, bersama kedua yunior
lainnya kami melanjutkan studi pedagogi. Masa studi kulalui dengan tenang dan
sabar sehingga dapat diselesaikan dengan baik.
Setelah menyelesaikan studi, saya
mendapat SK untuk menyiapkan diri kaul kekal. Dalam masa persiapan ini,
kumenemukan banyak kesulitan dan kebingungan , baik yang datang dari pergulatan
diriku sendiri maupun dari pihak luar diri. Namun dalam permenungan dan
refleksi, dan dalam doa dan meditasi, kumenemukan bahwa, semua yang
kualami adalah merupakan pertanyaan
Yesus yang membutuhkan jawapan pasti dari saya terhadap kesetiaan saya untuk
menjawab cintaNya, “ Emi…apakah engkau mengasihi Aku ? Pertanyaan Yesus ini, adalah pertanyaan
yang menantang bagi saya, mengapa ? Karena Yesus sungguh mengenal saya dan
seluruh pergulatan hidup yang kualami. Tapi dalam iman saya percaya kepada
Allah dan berani menjawab “ Tuhan Engkau Tahu segala sesuatu, Engkau tahu bahwa
saya mengasihi Engkau . Dengan penuh kenyakinan dan kepasrahan kepada Allah dan
kehendakNya pada 11 Juli 2007,
saya bersama lima suster mengikrarkan kaul kekal. Penyerahan diri untuk
selama-lamanya menjadi mempelai Sang Wajah Kudus. Dengan moto kaulku “ Tuhan Engkau tahu segala sesuatu, Engkau
tahu bahwa aku mengasihi Engkau “( Yoh; 21:17 ), moto ini
saya angkat, karena saya sadar bahwa Tuhan tahu segala-galanya tentang diriku,
baik kelebihan maupun kekurangan , baik kekudusan maupun kedosaanku.
Sukacitaku
semakin mendalam dan rasa-rasanya hidup ini hanya untuk Tuhan. Memang hanya
untuk Tuhan, karena saya adalah milik Tuhan dan saya dipanggil oleh Tuhan untuk
menjadi saksiNya. Saksi yang hidup yang
dialami lansung melalui kesaksian hidup yang nyata. Hal ini dapat dilihat
melalui misi pelayanan yang nyata di tengah-tengah umat. Sebagai suster guru,
saya ditempatkan kembali disekolah Taman Kanak – Kanak di Koting. Namun
pada tahun 2010, setelah
sekembaliku dari Italia, saya menerima
SK pengangkatan sebagai Kepala Sekolah. Selain sebagai Kepala Sekolah, saya
masih di beri kepercayaan untuk melanjutkan studi pedagogi untuk mendapatkan
Sarjana Pendidikan. Tugas memang berat bagiku. Saya menerima dengan tenang, walaupun terjadi
pemberontakan karena ketidaksanggupanku. Tapi Tuhan lebih mengenal saya.
Sehingga saya berjalan dan berlangkah dalam bimbingan Tuhan. Tantangan dan
kesulitan, pergulatan dan pemberontakan seringkali kuhadapi, namun karena
kepasrahan dan penyerahan diri terhadap kehendak Allah, semuanya akan indah
pada waktunya. Studiku terselesaikan dengan baik pada Desember 2012. Saya
merasa bahwa beban studiku telah berakhir, dan saya mulai merasa bahwa sekarang
tinggal berkarya. Karya pelayanan sebagai rasul Wajah Kudus kujalankan
dengan sukacita. Senyum dan tawa, kegembiraan dan sukacita, bekerja tanpa kata
itulah yang menjadi bagian dalam hidupku, dan itu semua kurangkum dalam moto hidupku “ CINTA, DAMAI DAN SUKACITA
“
Tak
kubayangkan semuanya adalah penyelenggaraan Allah, apa yang tak dipikirkan
oleh manusia dipikirkan Allah. Semuanya akan indah pada waktunya. Febbruari
2013 saya menerima sepucuk surat dari Superior General tentang pengangkatanku
sebagai Pimpinan Komunitas Koting. Saya gugup, gemetar, bingung dan takut. Saya
merasa saya tidak pantas, dan tidak sanggup. Mengapa harus saya hamba yang
tidak berguna ini ? Namun dalam permenungan kumenemukan sebuah jawaban “ bagi
Allah tidak ada yang mustahil. Allah menggunakan hamba yang tidak berguna ini
agar menjadi berguna bagi kerajaanNya. Allah tahu bahwa saya sungguh mengasihi
Dia dengan segenab hati, karena Allah sendiri telah lebih dahulu mengasihiku
dengan apa adanya diriku ini. Saat ini saya menjalankan segala kepercayaan yang
diberikan kepadaku dengan tenang penuh sukacita. Karena saya bukan sendirian,
tapi bersama sesama saudariku dalam komunitas dan secara khusus bersama Allah.
Syukur bagiMu
Tuhan atas rahmat hidup, panggilan dan perutusan yang diberikan kepadaku.
Semoga saya selalu siap sedia menjadi rasul Wajah Kudus yang setia penuh
pengorbanan untuk membawa WajahMu ke seluruh pelosok dunia....salam Mastena
Sr. Emiliana Sepe, CSV